header pta Baru

319. DISPENSASI KAWIN (BUKAN) JALAN KELUAR TERBAIK UNTUK MENGHINDARI PERBUATAN ZINA

Written by Memen A. Husni, SE on . Posted in Muara Teweh

Written by Memen A. Husni, SE on . Hits: 233Posted in Muara Teweh

DISPENSASI KAWIN (BUKAN) JALAN KELUAR TERBAIK UNTUK MENGHINDARI PERBUATAN ZINA

Muara Teweh | Pa-muarateweh.go.id

Perkara pernikahan selalu menjadi topik hangat yang tidak ada habisnya khususnya di Indonesia. Bahkan tidak sedikit anggapan-anggapan terkait pernikahan yang kini perlahan mulai merambat menjadi stigma di masyarakat, contohnya jika seorang wanita dianggap ‘telat’ menikah, maka dicap dengan stigma tidak laku atau perawan tua atau stigma kodrat wanita yang hanya berkutat pada putaran kasur, sumur, dan dapur sehingga tidak memerlukan jenjang pendidikan yang tinggi. Selain itu tidak jarang alasan seperti menghindari zina, menikah untuk menyempurnakan agama atau narasi keagamaan lain digunakan untuk mendorong pernikahan tersebut dalam skala yang ekstrim melegitimasi pernikahan anak.  

Pada awalnya, aturan terkait batas minimal usia perkawinan menyatakan bahwa perkawinan hanya diizinkan apabila pihak pria sudah mencapai usia 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 (enam belas) tahun. Aturan tersebut telah berlaku dan tertuang pada Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”) selama 45 (empat puluh lima) tahun sampai pada akhirnya ketentuan tersebut dinyatakan bertentangan dengan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (“UUD NRI 1945”) oleh Mahkamah Konstitusi (“MK”) melalui Putusan MK Nomor 22/PUU-XV/2017 kemudian ketentuan UU Perkawinan tersebut diubah pada tahun 2019 yang pada intinya menyatakan bahwa perkawinan hanya diizinkan apabila pihak pria dan wanita berusia 19 (sembilan belas) tahun. Adapun yang menjadi hal-hal pokok perubahan batas usia minimal perkawinan menyangkut terkait kesehatan, hak atas perlindungan dari kekerasan, hak sipil anak, hak pendidikan dan hak sosial pada anak.

Sebelum membahas apakah kemudian perkawinan bagi seorang yang berusia di bawah 19 (sembilan belas) tahun (“Perkawinan Usia Anak”) merupakan jalan keluar terbaik (maslahat) atau justru hal yang cenderung mendatangkan kerugian (mudharat). Perlu untuk diketahui Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak (“UU Perlindungan Anak”) telah mendefinisikan anak sebagai seorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun. Artinya, setiap orang yang masih berusia 18 (delapan belas) tahun tersebut wajib dilindungi atas hak-hak khususnya secara optimal baik oleh orang tua dan/atau negara. Secara khusus perlindungan terkait Perkawinan Usia Anak yang dalam hal ini negara memfasilitasi “penyimpangan” tersebut melalui permohonan Dispensasi Kawin di Pengadilan Agama. 

Pada UU Perkawinan, dalam hal terjadi penyimpangan terhadap ketentuan umur, orang tua pihak pria dan/atau orang tua pihak wanita dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan Agama dengan alasan sangat mendesak disertai bukti-bukti pendukung yang cukup. Dalam penjelasan pasal tersebut, yang dimaksud dengan “alasan sangat mendesak” adalah keadaan tidak ada pilihan lain dan sangat terpaksa harus dilangsungkan perkawinan. 

Pengadilan Agama Muara Teweh (“PA MTW”) sebagai salah satu Pengadilan yang berwenang secara absolut untuk mengadili Permohonan Dispensasi Kawin dan berwenang secara relatif di Kabupaten Barito Utara dan Kabupaten Murung Raya setidaknya telah menerima 41 (empat puluh satu) Permohonan Dispensasi Kawin sejak tanggal 1 Januari 2022 sampai dengan 17 Juni 2022. Adapun setelah melakukan wawancara singkat dengan POSBAKUM PA MTW, “alasan sangat mendesak” yang digunakan oleh hampir seluruh pemohon dalam Surat Permohonan untuk melaksanakan Dispensasi Kawin adalah “pemohon sangat khawatir akan terjadi perbuatan yang terlarang oleh Ketentuan Hukum Islam” atau dengan kata lain takut anak tersebut melakukan perbuatan zina. Alasan tidak tertulis lain yang kerap ditemukan adalah “menikah untuk menyempurnakan agama”. Benar, orang tua selaku pemohon dari anak yang akan dinikahkan tersebut pada faktanya memilih perkawinan/pernikahan usia anak untuk menyempurnakan agama seorang yang masih dikatakan anak-anak berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. 

Disadari atau tidak, alasan “khawatir melakukan perbuatan zina” nyatanya lebih membuat yakin Orang Tua Pemohon Dispensasi Kawin untuk merestui perkawinan anaknya yang rentan terhadap berbagai risiko Perkawinan Usia Anak. Misalnya saja menurut data dari UNICEF, perempuan yang melahirkan pada usia 15-19 Tahun berisiko mengalami kematian dua kali lebih besar dibandingkan perempuan yang melahirkan di atas 20 tahun. Lebih lanjut pada sidang perkara Nomor 30/PUU-XII/2014 menjelaskan “tidak ada satupun (keterangan para Ahli) yang menyatakan bahwa perkawinan oleh anak perempuan berusia di bawah 18 tahun merupakan perkawinan yang ideal dari segi kesehatan (fisik, psikologi, mental).”

Alasan lainnya yang kerap ditemui dari kasus Perkawinan Usia Anak berasal dari faktor keterbatasan ekonomi yang berakibat pada terhambatnya pendidikan anak. Anggapan menikahkan anak sebagai jalan keluar untuk menuntaskan tanggung jawab ekonomi Orang Tua Pemohon Dispensasi Kawin justru kadang menjadi jalan keluar buntu dikarenakan ketidaksiapan ekonomi dari kedua belah pihak laki-laki dan perempuan yang dinikahkan. Ketidaksiapan mental anak-anak tersebut untuk menghadapi hiruk-pikuk rumah tangga seperti permasalahan ekonomi, emosi dalam mengurus rumah tangga dan rendahnya tingkat pengetahuan/pendidikan justru menjadi masalah baru bagi anak yang “terjebak” dalam Perkawinan Usia Anak.  

Penulis mengambil salah satu contoh kasus Perkawinan Usia Anak yang dilakukan oleh “M” (salah seorang Pemohon dalam Sidang Perkara Mahkamah Konstitusi Nomor 22/PUU-XV/2017) hal.7-8. Dalam kasus tersebut, M dinikahkan pada usia 15 (empat belas) tahun oleh orang tuanya karena alasan ekonomi. Pada saat menikah, M terpaksa berhenti sekolah dan harus menutup kesempatannya melaksanakan wajib belajar 12 tahun. Ternyata pasca menikah, M tidak dinafkahi secara layak dikarenakan suaminya juga memiliki keterbatasan ekonomi. Kondisi tersebut diperburuk karena M tidak dapat bekerja secara layak karena tidak menyelesaikan sekolah dasarnya. Selain kondisi ekonomi dan hilangnya hak atas pendidikan tersebut, EW juga mengalami dampak kesehatan yang cukup serius. M mengalami 3 kali keguguran pada usia 15 tahun, 16 tahun, dan anak ketiga M ketika melahirkan di usia 19 tahun harus meninggal dunia pada usia 4 bulan. Barulah anak ke-4 dan ke-5 dilahirkan secara sehat pada saat usia M menyentuh 21 dan 27 tahun. Akibat kejadian tersebut, Ibunda M mengaku menyesal telah memaksa menikahkan M pada usia anak, terlebih karena pernikahan tersebut karena permasalahan ekonomi. 

Penulis menyadari dan memahami bahwa tidak dapat menggeneralisir satu kasus untuk kasus lainnya. Namun perlu digarisbawahi bahwa risiko Perkawinan Usia Anak itu nyatanya ada dan dipelajari secara ilmiah. Dampaknya, ketidaksiapan mental menghadapi masalah rumah tangga membawa banyak pengantin anak ke meja hijau perceraian.  

Seolah tidak mendapat “restu” dari berbagai aspek, alasan Perkawinan Usia Anak pada akhirnya menyudut pada persoalan dan alasan narasi keagamaan. Padahal memandang perkawinan dari lensa agama perlu mengutamakan apakah itu membawa maslahat (kebaikan) atau mudarat (kerugian) bagi semua orang yang terlibat. Penggunaan alasan menghindari zina (saja) tentu berdampak buruk baik secara psikis maupun fisik bagi anak tersebut. Meski islam tidak mengatur secara spesifik terkait usia perkawinan seseorang dan “hanya” mensyaratkan baligh sebagai syarat untuk dapat menikah. Namun dalam Hadist Riwayat Bukhari No. 4779 dari Abdullah Ibn Masúd, “Wahai para pemuda, jika kalian telah mampu, maka menikahlah. Sungguh menikah itu lebih menentramkan pandangan dan kelamin. Bagi yang belum mampu, maka berpuasalah karena puasa bisa menjadi tameng baginya." Menikah memang salah satu jalan untuk menghindari perbuatan zina, namun dalam hadist tersebut yang harus digarisbawahi adalah kalimat “bagi yang mampu”. Menurut Ketua Pengadilan Agama Muara Teweh, Bapak Mulyadi Lc, MH menerangkan frasa “mampu” dalam hadist tersebut memiliki makna yang luas, tidak hanya mampu secara fisik (dalam melakukan hubungan suami istri) namun juga kemampuan mental, ekonomi, psikis, dalam menghadapi masalah rumah tangga. 

Negara memang menyediakan sarana atas “penyimpangan” usia perkawinan. Tentu saja dengan berbagai persyaratan sebagai bentuk preventif atas risiko-risiko yang mungkin akan terjadi. Namun peran penting orang tua/wali selaku pemberi restu merupakan pintu utama dalam membentuk pribadi dan/atau sikap perilaku anak melihat sudut pandang perkawinan.  

Perkawinan, khususnya dalam Islam, mempunyai tujuan yang baik dan mulia. Bahkan sabda Rasulullah SAW menyatakan bahwa jika seseorang telah menikah, berarti ia telah menyempurnakan separuh agama. Namun apakah betul perkawinan yang dimaksud dengan Rasulullah SAW adalah perkawinan yang semata untuk tidak berbuat zina saja? Ketika anak nantinya tidak mampu menjalankan kewajiban selaku suami-istri yang bertanggung jawab menghadapi persoalan rumah tangga, bukankah kemudian upaya pernikahan dini justru membawa lebih banyak mudharat bagi anak? Jika alasan terkuat untuk menikahkan anak adalah untuk menghindari zina, bukankan agama juga memerintahkan kita untuk berpuasa? Di sinilah peran orang tua/wali untuk menjelaskan, dan tentunya memahami, bahwa menikah bukan hanya sekedar melakukan hubungan suami-istri (Sa) 

Normal 0 false false false EN-US X-NONE X-NONE /* Style Definitions */ table.MsoNormalTable {mso-style-name:"Table Normal"; mso-tstyle-rowband-size:0; mso-tstyle-colband-size:0; mso-style-noshow:yes; mso-style-priority:99; mso-style-parent:""; mso-padding-alt:0cm 5.4pt 0cm 5.4pt; mso-para-margin-top:0cm; mso-para-margin-right:0cm; mso-para-margin-bottom:8.0pt; mso-para-margin-left:0cm; text-align:justify; line-height:107%; mso-pagination:widow-orphan; font-size:12.0pt; mso-bidi-font-size:11.0pt; font-family:"Times New Roman",serif; mso-bidi-font-family:"Times New Roman"; mso-bidi-theme-font:minor-bidi; mso-ansi-language:EN-US; mso-fareast-language:EN-US;}

Normal 0 false false false EN-US X-NONE X-NONE /* Style Definitions */ table.MsoNormalTable {mso-style-name:"Table Normal"; mso-tstyle-rowband-size:0; mso-tstyle-colband-size:0; mso-style-noshow:yes; mso-style-priority:99; mso-style-parent:""; mso-padding-alt:0cm 5.4pt 0cm 5.4pt; mso-para-margin-top:0cm; mso-para-margin-right:0cm; mso-para-margin-bottom:8.0pt; mso-para-margin-left:0cm; text-align:justify; line-height:107%; mso-pagination:widow-orphan; font-size:12.0pt; mso-bidi-font-size:11.0pt; font-family:"Times New Roman",serif; mso-bidi-font-family:"Times New Roman"; mso-bidi-theme-font:minor-bidi; mso-ansi-language:EN-US; mso-fareast-language:EN-US;}

Perkara pernikahan selalu menjadi topik hangat yang tidak ada habisnya khususnya di Indonesia. Bahkan tidak sedikit anggapan-anggapan terkait pernikahan yang kini perlahan mulai merambat menjadi stigma di masyarakat, contohnya jika seorang wanita dianggap ‘telat’ menikah, maka dicap dengan stigma tidak laku atau perawan tua atau stigma kodrat wanita yang hanya berkutat pada putaran kasur, sumur, dan dapur sehingga tidak memerlukan jenjang pendidikan yang tinggi. Selain itu tidak jarang alasan seperti menghindari zina, menikah untuk menyempurnakan agama atau narasi keagamaan lain digunakan untuk mendorong pernikahan tersebut dalam skala yang ekstrim melegitimasi pernikahan anak. 

Pada awalnya, aturan terkait batas minimal usia perkawinan menyatakan bahwa perkawinan hanya diizinkan apabila pihak pria sudah mencapai usia 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 (enam belas) tahun. Aturan tersebut telah berlaku dan tertuang pada Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”) selama 45 (empat puluh lima) tahun sampai pada akhirnya ketentuan tersebut dinyatakan bertentangan dengan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (“UUD NRI 1945”) oleh Mahkamah Konstitusi (“MK”) melalui Putusan MK Nomor 22/PUU-XV/2017 kemudian ketentuan UU Perkawinan tersebut diubah pada tahun 2019 yang pada intinya menyatakan bahwa perkawinan hanya diizinkan apabila pihak pria dan wanita berusia 19 (sembilan belas) tahun. Adapun yang menjadi hal-hal pokok perubahan batas usia minimal perkawinan menyangkut terkait kesehatan, hak atas perlindungan dari kekerasan, hak sipil anak, hak pendidikan dan hak sosial pada anak.

Sebelum membahas apakah kemudian perkawinan bagi seorang yang berusia di bawah 19 (sembilan belas) tahun (“Perkawinan Usia Anak”) merupakan jalan keluar terbaik (maslahat) atau justru hal yang cenderung mendatangkan kerugian (mudharat). Perlu untuk diketahui Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak (“UU Perlindungan Anak”) telah mendefinisikan anak sebagai seorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun. Artinya, setiap orang yang masih berusia 18 (delapan belas) tahun tersebut wajib dilindungi atas hak-hak khususnya secara optimal baik oleh orang tua dan/atau negara. Secara khusus perlindungan terkait Perkawinan Usia Anak yang dalam hal ini negara memfasilitasi “penyimpangan” tersebut melalui permohonan Dispensasi Kawin di Pengadilan Agama.

Pada UU Perkawinan, dalam hal terjadi penyimpangan terhadap ketentuan umur, orang tua pihak pria dan/atau orang tua pihak wanita dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan Agama dengan alasan sangat mendesak disertai bukti-bukti pendukung yang cukup. Dalam penjelasan pasal tersebut, yang dimaksud dengan “alasan sangat mendesak” adalah keadaan tidak ada pilihan lain dan sangat terpaksa harus dilangsungkan perkawinan. 

Pengadilan Agama Muara Teweh (“PA MTW”) sebagai salah satu Pengadilan yang berwenang secara absolut untuk mengadili Permohonan Dispensasi Kawin dan berwenang secara relatif di Kabupaten Barito Utara dan Kabupaten Murung Raya setidaknya telah menerima 41 (empat puluh satu) Permohonan Dispensasi Kawin sejak tanggal 1 Januari 2022 sampai dengan 17 Juni 2022. Adapun setelah melakukan wawancara singkat dengan POSBAKUM PA MTW, “alasan sangat mendesak” yang digunakan oleh hampir seluruh pemohon dalam Surat Permohonan untuk melaksanakan Dispensasi Kawin adalah “pemohon sangat khawatir akan terjadi perbuatan yang terlarang oleh Ketentuan Hukum Islam” atau dengan kata lain takut anak tersebut melakukan perbuatan zina. Alasan tidak tertulis lain yang kerap ditemukan adalah “menikah untuk menyempurnakan agama”. Benar, orang tua selaku pemohon dari anak yang akan dinikahkan tersebut pada faktanya memilih perkawinan/pernikahan usia anak untuk menyempurnakan agama seorang yang masih dikatakan anak-anak berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Disadari atau tidak, alasan “khawatir melakukan perbuatan zina” nyatanya lebih membuat yakin Orang Tua Pemohon Dispensasi Kawin untuk merestui perkawinan anaknya yang rentan terhadap berbagai risiko Perkawinan Usia Anak. Misalnya saja menurut data dari UNICEF, perempuan yang melahirkan pada usia 15-19 Tahun berisiko mengalami kematian dua kali lebih besar dibandingkan perempuan yang melahirkan di atas 20 tahun. Lebih lanjut pada sidang perkara Nomor 30/PUU-XII/2014 menjelaskan “tidak ada satupun (keterangan para Ahli) yang menyatakan bahwa perkawinan oleh anak perempuan berusia di bawah 18 tahun merupakan perkawinan yang ideal dari segi kesehatan (fisik, psikologi, mental).”

Alasan lainnya yang kerap ditemui dari kasus Perkawinan Usia Anak berasal dari faktor keterbatasan ekonomi yang berakibat pada terhambatnya pendidikan anak. Anggapan menikahkan anak sebagai jalan keluar untuk menuntaskan tanggung jawab ekonomi Orang Tua Pemohon Dispensasi Kawin justru kadang menjadi jalan keluar buntu dikarenakan ketidaksiapan ekonomi dari kedua belah pihak laki-laki dan perempuan yang dinikahkan. Ketidaksiapan mental anak-anak tersebut untuk menghadapi hiruk-pikuk rumah tangga seperti permasalahan ekonomi, emosi dalam mengurus rumah tangga dan rendahnya tingkat pengetahuan/pendidikan justru menjadi masalah baru bagi anak yang “terjebak” dalam Perkawinan Usia Anak. 

Penulis mengambil salah satu contoh kasus Perkawinan Usia Anak yang dilakukan oleh “M” (salah seorang Pemohon dalam Sidang Perkara Mahkamah Konstitusi Nomor 22/PUU-XV/2017) hal.7-8. Dalam kasus tersebut, M dinikahkan pada usia 15 (empat belas) tahun oleh orang tuanya karena alasan ekonomi. Pada saat menikah, M terpaksa berhenti sekolah dan harus menutup kesempatannya melaksanakan wajib belajar 12 tahun. Ternyata pasca menikah, M tidak dinafkahi secara layak dikarenakan suaminya juga memiliki keterbatasan ekonomi. Kondisi tersebut diperburuk karena M tidak dapat bekerja secara layak karena tidak menyelesaikan sekolah dasarnya. Selain kondisi ekonomi dan hilangnya hak atas pendidikan tersebut, EW juga mengalami dampak kesehatan yang cukup serius. M mengalami 3 kali keguguran pada usia 15 tahun, 16 tahun, dan anak ketiga M ketika melahirkan di usia 19 tahun harus meninggal dunia pada usia 4 bulan. Barulah anak ke-4 dan ke-5 dilahirkan secara sehat pada saat usia M menyentuh 21 dan 27 tahun. Akibat kejadian tersebut, Ibunda M mengaku menyesal telah memaksa menikahkan M pada usia anak, terlebih karena pernikahan tersebut karena permasalahan ekonomi. 

Penulis menyadari dan memahami bahwa tidak dapat menggeneralisir satu kasus untuk kasus lainnya. Namun perlu digarisbawahi bahwa risiko Perkawinan Usia Anak itu nyatanya ada dan dipelajari secara ilmiah. Dampaknya, ketidaksiapan mental menghadapi masalah rumah tangga membawa banyak pengantin anak ke meja hijau perceraian. 

Seolah tidak mendapat “restu” dari berbagai aspek, alasan Perkawinan Usia Anak pada akhirnya menyudut pada persoalan dan alasan narasi keagamaan. Padahal memandang perkawinan dari lensa agama perlu mengutamakan apakah itu membawa maslahat (kebaikan) atau mudarat (kerugian) bagi semua orang yang terlibat. Penggunaan alasan menghindari zina (saja) tentu berdampak buruk baik secara psikis maupun fisik bagi anak tersebut. Meski islam tidak mengatur secara spesifik terkait usia perkawinan seseorang dan “hanya” mensyaratkan baligh sebagai syarat untuk dapat menikah. Namun dalam Hadist Riwayat Bukhari No. 4779 dari Abdullah Ibn Masúd, “Wahai para pemuda, jika kalian telah mampu, maka menikahlah. Sungguh menikah itu lebih menentramkan pandangan dan kelamin. Bagi yang belum mampu, maka berpuasalah karena puasa bisa menjadi tameng baginya." Menikah memang salah satu jalan untuk menghindari perbuatan zina, namun dalam hadist tersebut yang harus digarisbawahi adalah kalimat “bagi yang mampu”. Menurut Ketua Pengadilan Agama Muara Teweh, Bapak Mulyadi Lc, MH menerangkan frasa “mampu” dalam hadist tersebut memiliki makna yang luas, tidak hanya mampu secara fisik (dalam melakukan hubungan suami istri) namun juga kemampuan mental, ekonomi, psikis, dalam menghadapi masalah rumah tangga. 

Negara memang menyediakan sarana atas “penyimpangan” usia perkawinan. Tentu saja dengan berbagai persyaratan sebagai bentuk preventif atas risiko-risiko yang mungkin akan terjadi. Namun peran penting orang tua/wali selaku pemberi restu merupakan pintu utama dalam membentuk pribadi dan/atau sikap perilaku anak melihat sudut pandang perkawinan. 

Perkawinan, khususnya dalam Islam, mempunyai tujuan yang baik dan mulia. Bahkan sabda Rasulullah SAW menyatakan bahwa jika seseorang telah menikah, berarti ia telah menyempurnakan separuh agama. Namun apakah betul perkawinan yang dimaksud dengan Rasulullah SAW adalah perkawinan yang semata untuk tidak berbuat zina saja? Ketika anak nantinya tidak mampu menjalankan kewajiban selaku suami-istri yang bertanggung jawab menghadapi persoalan rumah tangga, bukankah kemudian upaya pernikahan dini justru membawa lebih banyak mudharat bagi anak? Jika alasan terkuat untuk menikahkan anak adalah untuk menghindari zina, bukankan agama juga memerintahkan kita untuk berpuasa? Di sinilah peran orang tua/wali untuk menjelaskan, dan tentunya memahami, bahwa menikah bukan hanya sekedar melakukan hubungan suami-istri

Hubungi Kami

Kantor Pengadilan Tinggi Agama Palangka Raya

Jl. Cilik Riwut Km. 4.5 (73112) Palangka Raya 73112 Telp (0536) 3222837 Fax (0536) 3231746

Tautan ke Situs Sosial Media